Seringkali orang berpikir bahwa marah memberikan dampak buruk terhadap kesehatan dan menyebarkan hal negatif. Padahal tidak selalu begitu. Pelampiasan emosi tersebut bisa menjadi sesuatu yang lebih bahkan memiliki dampak positif. Penulis Charles Duhigg melalui situs The Atlantic menjelaskan bahwa marah bisa juga memberikan manfaat kesehatan. Duhigg menghabiskan waktu setahun untuk mempelajari akar kemarahan umum warga Amerika, terutama pada iklim politik yang saat ini kerap berubah. Menariknya, Duhigg menemukan bahwa dampak kemarahan tidak seburuk yang dibayangkan selama ini. Kemarahan dicitrakan buruk karena sering dikaitkan dengan kekerasan, padahal keduanya tidak terkait secara langsung. Nah, setidaknya ada empat dampak positif dari marah. Apa saja? Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
1. Marah membuat kita bicara lebih jelas Banyak orpang biasanya menyaring kata-kata yang akan dikomunikasikan dengan orang lain sehingga kata-kata tersebut tidak menyinggung. Akibatnya, maksud yang ingin disampaikan menjadi tidak jelas. Namun, marah membuat seseorang melupakan itu dan mengatakan apa yang dirasakan dengan jujur. Hal itu dikatakan oleh Ken Yeager, PhD, LISW yang juga Clinical Director dari Stress, Trauma and Resilience program di Ohio State University Wexner Medical Center. "Seringkali orang sibuk memikirkan bagaimana bicara sopan, namun pada proses tersebut mereka kehilangan arti sebenarnya yang ingin disampaikan," kata Yeager.
2. Marah membuat seseorang mampu bernegosiasi Secara mengejutkan, komunikasi seseorang ketika sedang marah justru tidak selalu menghasilkan sesuatu yang buruk. Sebuah artikel Duhigg mengutip penemuan dari seorang profesor di Massachusetts at Amherst Psychology, James Averill. Averill telah mempelajari kemarahan dan responsnya sejak akhir 1970an. Ia melakukan survei untuk mencari tahu seberapa sering seseorang marah dan menanyakan pengalaman yang membuat mereka marah. Averill mengungkapkan bahwa orang-orang yang marah cenderung bisa memecahkan masalah dengan baik. Salah satu kasusnya adalah seorang remaja yang mendapatkan keleluasan jam malam lebih setelah marah pada orangtuanya. "Pada kasus yang luas, kemarahan bisa membuat semua pihak menjadi mau mendengarkan, cenderung bicara jujur, serta lebih akomodatif terhadap komplain orang lain," tulis Duhigg. Meski begitu, intensitas kemarahan penting pula untik diperhatikan. Awal tahun ini, para peneliti dari Rice University menemukan bahwa orang-orang yang marah dengan intensitas moderat lebih mampu menegosiasikan keinginannya daripada mereka yang sangat marah atau hanya sedikit marah. Para peneliti meyakini bahwa orang-orang yang marah dengan intensitas moderat lebih dipandang sebagai figur yang kuat. Sedangkan orang-orang yang mengekspresikan kemarahannya secara ekstrim dipandang tidak pantas.
3. Kemarahan memunculkan motivasi Kemarahan bisa membuat seseorang termotivasi, baik memulai proyek baru atau membuat perubahan karena perasaan tersebut bak bahan bakar untuk motivasi. Duhigg memandang fenomena ini pada politik Amerika. Ia percaya bahwa politisi sukses akan menang karena mereka memanfaatkan kemarahan orang lain dan menginspirasi mereka untuk memberikan suaranya. Menurut laporan Duhigg, itulah mengapa Averill tidak pernah mengabaikan posisi Presiden Donald Trump sebagai kandidat yang tidak terlalu disukai. Tidak ada yang membantah bahwa hasil pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 menyebabkan kemarahan. Sesaat setelah pelantikan Trump, kemarahan Amerika membuat orang-orang protes dan turun ke jalan. Di seluruh dunia, lebih dari lima juta orang juga melancarkan protes untuk mengadvokasi hak perempuan pada Januari 2017. Tapi tidak semua stimulasi kemarahan harus bersifat besar. Menurut Yeager, kemarahan bisa saja sekadar memicu kreativitas di tempat kerja dan membuat kita mampu membangun inisiatif atau kampanye tertentu. "Jika kamu membiarkan kemarahanmu lepas, kamu memahami bahwa akan ada kemungkinan perubahan," kata Yeager. "Banyak orang terjebak pada hal-hal yang biasa mereka lakukan. Seringkali tak ada kreativitas yang muncul pada kondisi tersebut."
4. Kemarahan bersifat melegakan Pikirkan lah kapan terakhir kali kamu mengatakan dengan jujur kepada seseorang apa yang benar-benar kamu pikirkan. Hal itu terasa melegakan, bukan? Averill menemukan bahwa orang-orang merasa lebih bahagia, optimis dan lega setelah lepas dalam sebuag argumen. Meskipun kita kerap mengaitkan agresi dengan kemarahan, dua hal tersebut sebetulnya tidak seterkait seperti apa yang kita pikirkan. Dacher Keltner, director of The Berkeley Social Interaction Lab mengatakan kepada The Atlantic bahwa faktanya, otak kita mengalami kemarahan dalam konteks positif. "Ketika kita melihat otak dari orang-orang yang mengekspresikan kemarahannya, tampak otak tersebut sama seperti mereka yang mengalami kebahagiaan," kata Keltner. Sebab, saat marah kita biasanya merasa memegang kontrol atau seperti mendapatkan kekuatan atas sesuatu. Namun, sebelum melepaskan kemarahanmu pada kerabat sekitar, ingatlah bahwa intensitas marah yang baik adalah intensitas moderat. Kamu sudah melebihi batas jika kemarahan adalah hal utama yang kamu pikirkan. Kemarahan yang memicu serangan pribadi, penghinaan, dan komentar merendahkan justru merupakan sesuatu yang destruktif. "Itulah titik dimana kemarahanmu bisa berujung pada kekerasan," kata Yeager. Yeager menambahkan, adu argumentasi adalah sesuatu yang sehat dan tak masalah jika kita sedikit "panas".
Manfaatkanlah perasaan itu untuk bisa menyelesaikan sesuatu dan kamu akan menjadi pribadi yang lebih baik dalam menghadapi rasa marah.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !